Penyelenggaraan Pemilu Yang Inklusif di Aceh Kepada Penyandang Disabilitas

Penyelenggaraan Pemilu Yang Inklusif di Aceh Kepada Penyandang Disabilitas

oleh: T. Surya Reza, Cut Mutia Rahmadani

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh


Setiap warga negara yang telah berusia 17 tahun ke atas sudah dapat merasakan hajatan demokrasi di negeri kita selama 5 tahun sekali yang disebut dengan Pemilu dan Pemilukada, namum dalam artikel ini berfokus pada Pemilu. Pemilihan Umum ataupun lebih dikenal dengan sebutan Pemilu merupakan sebuah ajang demokrasi yang menunjukkan adanya pilihan-pilihan berbasis kesetaraan dan keadilan yang digunakan untuk mencapai cita-cita negara dan bangsa.

Dasar hukum tertinggi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) telah memberikan batasan untuk penyelenggaraan Pemilu dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Hak pilih juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 22C (1) UUD NRI 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat melaksanakan hak pilihnya.

Kata setiap warga negara dalam Pemilu memiliki makna dalam penyelenggaraan Pemilu tidak memandang suku, agama, ras, antargolongan, fisik dan mental, karna hal itu dilindungi oleh konstitusi. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, atas dasar ini hak dalam memilih merupakan bagian penting Hak Asasi Manusia.

Hak untuk memilih tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang sempurna saja, melainkan juga oleh mereka yang memiliki kondisi fisik kurang sempurna yang biasa dikenal dengan cacat atau penyandang disabilitas. Dalam hal ini Pemilu yang inklusif bukan hanya sekadar Hak Asasi Manusia, tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip berdasarkan keadilan dan kesetaraan. Pemilu yang ideal harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk juga penyandang disabilitas.

Inklusivitas merupakan suatu prinsip yang melibatkan pihak lain dalam suatu proses. Pemilu inklusif dapat diartikan sebagai Pemilu yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga negara. Pemilih juga harus mematuhi ketentuan yang berlaku serta dijamin menggunakan hak-hak pilihnya.* Dalam konteks Pemilu yang inklusif, berbagai aspek dalam proses Pemilu perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas termasuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas untuk turut serta dalam proses demokrasi berlangsung.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan undang-undang yang menjadi landasan utama di Indonesia mengatur terkait hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak politik. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan bahwa mereka dapat menggunakan hak suara mereka dengan setara. Pemenuhan hak tersebut merupakan perwujudan prinsip kewarganegaraan yang inklusif yaitu terpenuhinya semua hak mereka sebagai warga negara secara adil tanpa memandang identitasnya. Aksesibilitas merupakan kunci yang paling utama dalam mewujudkan prinsip keadilan sosial, kesetaraan serta kesempatan yang sama bagi semua orang.

Apa itu aksesibilitas? adalah upaya kemudahan yang tersedia bagi penyandang cacat dan diterapkan secara optimal untuk memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses berbagai aktivitas sehingga terwujud pemerataan.

Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menyebutkan, pemilih dengan disabilitas fisik, netra, atau hambatan fisik lainnya dapat dibantu oleh orang lain saat memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), atas permintaan pemilih itu sendiri. Orang yang memberikan bantuan wajib menjaga kerahasiaan pilihan pemilih tersebut.

Meskipun terdapat aturan yang menjamin aksesibilitas penyandang disabilitas dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh, penerapan di lapangan masih perlu banyak perbaikan. Dengan memperluas sosialisasi terkait hak-hak politik bagi penyandang disabilitas, menyelenggarakan pelatihan khusus bagi petugas Pemilu, serta memastikan fasilitas yang ramah disabilitas di setiap TPS, diharapkan kedepannya pelaksanaan pemilu di Aceh dapat lebih optimal dalam menjamin hak dan partisipasi penyandang disabilitas dalam proses demokrasi.

Banyak penyandang disabilitas menghadapi masalah informasi proses Pemilu. Sebagian dari mereka tidak tahu bagaimana tata cara dalam mendaftar, di mana untuk memilih, atau bagaimana pemungutan suara itu sendiri dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan dalam metode penyampaian informasi, termasuk penggunaan media yang lebih inklusif serta petugas Pemilu yang dilatih untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas secara langsung. Tanpa informasi yang jelas dan mudah diakses, penyandang disabilitas akan kesulitan memahami hak-hak mereka dan bagaimana mereka dapat ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Stigma sosial dapat menyebabkan penyandang disabilitas sering merasa terasing dan tidak berdaya yang pada akhirnya mengurangi keterlibatan mereka dalam proses demokrasi berlangsung.

Pentingnya aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas ialah untuk menjamin kemandirian serta partisipasi mereka dalam mewujudkan hak-hak politik sebagai warga negara tanpa adanya deskriminasi dan hambatan. Kebijakan hukum terkait aksesibilitas hak-hak politik penyandang disabilitas khususnya di Kota Banda Aceh merupakan langkah penting dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Kebijakan ini tidak hanya memenuhi hak konstitusional penyandang disabilitas, tetapi juga memperkuat partisipasi mereka dalam menyalurkan hak-hak mereka.

Kesimpulannya, penyelenggaraan Pemilu sebernarnya sangatlah kompleks, yang memandang hukum dalam satu kesatuan, penyelengagraan Pemilu tidak hanya terpaku pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 saja, namun juga harus memerhatikan harmonisasi hukum lainnya seperti, UUD NRI 1945, Undang-Undang HAM, dan Undang-Undang Penyandang Disabilitas, agar penyelenggaraan Pemilu benar-benar sesuai tujuan dan harapan bersama.

──────────────────────────────
*Kusmanto, H. (2013). Peran Badan Permusyawaratan Daerah dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 373 Kali.